Aku dan Secangkir Kopi Hitam

Sejenak terlintas dalam benak akan hal yang tidak seharusnya dan sangat tidak diinginkan. Sejak malam itu pikiran tak dihampiri rasa tenang sedikitpun hingga kini, hingga saat ini. Garis horizontal itu kian membesar dan memanjang, kekhawatiran mulai datang pada diri yang lemah ini. Garis yang tak pernah ingin dirasakan, menghadirkan kegundahan tanpa tepi.
 
Takut, hati pun turut merasakan ketakutan yang sama dan kian akut. Lantunan melodi itu silih berganti menemani suasana hati, seakan turut merasakan apa yang dirasakan oleh perasaan ini. Bibir seakan terhipnotis, mengikuti tiap lantunan kata-kata dalam melodi itu tanpa henti. Dari hati nada itu kian meninggi, dan terus meninggi. Hati serasa ingin meledak, membuyarkan semua yang ada di dalam nya. Aku terhipnotis, dan terus terhipnotis sambil menenangkan hati.
 
Namun, garis horizontal itu kian membesar dan memanjangkan dirinya seolah tak ada yang dapat menghalangi keinginannya itu. Diri ini sudah tak muda lagi, tak sedikit yang telah di rasakan, yang telah di alami. Kehidupan mengajarkan segalanya, guru terbaik ialah pengalaman yang telah membawa kita dari masa yang muda kepada masa yang lebih atau bahkan sangat tua. Pengalaman yang mengajarkan aku, mengajarkan diri ini untuk selalu berhati-hati akan sesuatu hal yang akan, sedang, maupun yang telah di alami. Dari pengalaman itu pula garis horizontal itu muncul. Dan dari pengalaman bersama orang disekitar.
 
Ketakutan pun semakin merambat lepas tanpa hambatan. Mata ini menyaksikannya, entah itu fiktif ataupun realita. Aku pun tak tau, namun aku percaya. Kembali terlintas dalam fikiran akan garis horizontal itu, namun dalam hal yang lain pula. Kini yang dirasakan hanya ketidakmampuan itu, kehinaan itu. Apakah diri ini yang menjadi korban, ataukah justru akan menjadikan orang lain sebagai korban? Hah entahlah, akupun tak yakin akan hal itu. Aku memang bukan orang baik, dan bukan pula orang yang hidup dengan kebaikan yang palsu. Aku hanya seorang yang sangat jauh dari kesempurnaan, bahkan kebahagiaan yang kecil sedikit pun.
 
Terlintas dalam fikiran, apakah aku sama dengan apa yang disaksikan? Membohongi diri, namun itu tak benar. Tidaklah mengikuti penyaksian itu, tapi hal itu dapat digambarkan jelas pada diriku, pada hidupku. Aku tak dapat membagi hati, namun mungkin saja dapat membagi waktu dan kesempatan. Bukan pendusta yang dengan lantang membagi kan bualan-bualannya, demi kebahagiaan dalam hati orang. Hanya butuh kenyamanan. Ya, kenyamanan yang di butuhkan oleh setiap orang yang normal dan sangat normal menjalani hidup.
 
Aku nyaman dengan apa yang di dapatkan, tanpa ada sesuatu yang merasuki pikiran. Hanya ingin membahagiakan diri, karena tak beda dari diri-diri yang lain. Hati memang bukan pembual handal layaknya bibir. Hati layaknya mata yang menyimpan sejuta kejujuran dan kenyataan. Mata kembali menyaksikan, hati kembali merasakan. Dosa? Apakah itu pantas? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Atau pahala? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tidak ada yang tau.
 
Manusia hanya memanfaatkan apa yang tersedia dalam pandangannya. Bukan dalam harapan dan angan-angan nya, bukan pula dalam mimpi-mimpi nya yang telah disusun sedemikian rupa hingga mengalahkan sesuatu yang paling sempurna sekalipun, karena itu pula lah yang membutakan pandangan dan menutup hati yang telah terbuka. Bukan salahnya apabila memanfaatkan keadaan yang telah terbentang lebar di depan. Hanya semata-mata ingin menumbuhkan kebahagiaan dalam diri, dalam hati. 
 
Jari sembari menari, melukiskan suasana hati yang dirasakan seolah ingin menjadikannya sejarah yang akan selalu diingat dan dikenang. Tubuh kian mengecil dan melemah. Kepala yang tak dapat diseimbangkan. Kegundahan kian memuncak, tak mengizinkan tubuh untuk bergerak bebas. Memaksakan diri melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan, apa yang tidak diinginkan. Ya, itulah manusia dengan segala apa yang ia punya. 
 
Mungkin garis horizontal itu kini telah di ambang batasnya. Tapi tak tau apakah akan selamanya begitu, tetap menjadi garis yang mendatar seorang diri. Berharap akan datang garis vertikal yang akan menemani hingga garis horizontal itu tak akan lagi sendiri. Kini hanya keyakinan yang akan memunculkan itu, yang dapat menghadirkan garis yang akan menemani garis lainnya. Hingga garis itu saling bergandengan, maka saat itu pula lah kebahagiaan tanpa tepi akan senantiasa menghampiri bahkan mengiringi tiap langkah yang di jalani. Dari situ pula kita dapat menilai bahwa hidup tak dapat dijalani seorang diri. Tak dapat dihadapi tanpa diri-diri yang lain.
 
Hidup yang lain tak akan sama dengan yang dialami oleh satu diri. Keinginan yang lain tak akan sama dengan keinginan satu diri. Dan mimpi yang lain tak akan pernah sama dengan mimpi satu diri. Kebahagiaan diri tak berarti kebahagiaan diri yang lain, begitu pun sebaliknya. Dan kekhawatiran satu diri belum tentu dirasakan oleh diri yang lain. Jam kian berjalan, tak akan pernah berhenti walau dengan pintaan. Memanfaatkannya bukan hal yang mudah. Banyak literatur menjadikan banyak pengetahuan, banyak pengalaman menjadikan banyak pembelajaran. 
 
Jari kembali menari, tetap menuliskan apa yang di perintah oleh hati. Tak mempedulikan tubuh yang kian tak berdaya, walau itu keinginan dari hati yang terpuruk. Hati yang hanya mengikuti ego yang dianggap sebagai kunci kebahagiaan yang pada nyatanya hanya sebagai lubang dalam yang siap menerima apapun bahkan siapa pun yang akan jatuh kedalamnya tanpa basa-basi dan keinginan yang nyata.
 
Kini hati yang gundah sedikit demi sedikit terobati, terhapuskan. Tulisan telah menjadi obat, menjadi objek yang senantiasa menerima apa yang tak sanggup diterima sendiri. Ketenangan sedikit demi sedikit manghampiri, sembari datangnya garis vertikal yang sangat diharapkan dalam penuh harap.
Semoga keterpurukan, kesedihan, keburukan ini tak membutakan hati, tak menutup hati yang telah terbuka. Tidak akan belajar dari bibir, namun akan belajar dari hati dan mata. Hidup tanpa mengubar kebualan, tanpa kebahagiaan semu yang akan segera sirna. Hidup dengan garis yang selalu bergandengan tanpa meninggalkan satu sama lain. Garis yang akan terus hidup bersama tanpa ada yang akan melepaskan ataupun memisahkan.
 
Berterima kasih pada garis vertikal yang menjadikan garis horizontal itu tak lagi sendiri. Dan berterimakasih pula pada dinding yang seantiasa membatasi nya hingga garis itu tak lagi semakin membesar dan memanjang. Serta berterimakasih kepada sang pemilik hati ini, yang pemilik semesta yang tak pernah lelah sedikitpun menjalankan tugasnya sebagai pengatur semesta. Cukup menjalani hidup tanpa dengan rasa khawatir, tanpa dengan rasa sakit.
Bukan dengan air mata, tapi dengan secangkir kopi hitam yang mengajarkan arti kepahitan dan kegelapan. Yang akan menghisap segala keburukan, hingga ia menjadi hitam.
12 April 2014

Komentar