Aroma Pegunungan



Hidung seakan tersenyum menghirup aroma menyejukkan pikiran. Langit putih dan jernih tersenyum pada diri yang berlumur kekhawatiran, kegundahan, ketidaktenangan. Mata menyipit tak kuasa menahan silaunya mentari. Sembari mengembangkan senyum menyaksikan indahnya pemandangan ayah dan seorang anak perempuan dengan akurnya beraktifitas. Rumputan hijau berhiaskan embun, sejuknya menusuk kulit hingga ke tulang, langit yang biru berhiaskan kapas putih yang menggumpal. Hah, indahnya alam ini. Lebih indah jika melangkahkan kaki meninggalkan ruang, menyaksikan gunung-gunung yang selalu tersenyum dan akan selalu tersenyum walau insan nya justru enggan untuk tersenyum.
 
Telah dapat melupakan, mensirnakan dari pikiran merupakan suatu kebanggaan. Merasa berhasil, sukses pergi jauh dan meninggalkan kegundahan yang telah lama menyelimuti. Senyum lebar tanpa beban di pundak, tanpa rantai di kaki, tanpa plaster di bibir, tanpa borgol di tangan, tanpa penyakit yang membutakan mata. Mata melebar seolah menerima dengan ikhlas, sangat ikhlas. 
 
Lantunan melodi indah menemani jari yang kian menari indah tanpa lelah. Anggukan serta hentakan kecil di kaki mengikuti irama dengan santainya. Ya, sangat bebas dan sangat menyukai keadaan saat ini.
 
Tidak untuk melodi dari benda kecil yang tidak asing itu. Justru merusak semuanya, sentak membuyarkan keindahan yang telah tertayang. Kata-kata yang sangat tidak di harapkan terlihat dengan jelas, membuat mata melebar dan bibir kembali mengatup datar. Mengedepankan ego, tak menghiraukan benda itu. Yang di butuhkan hanya pengorbanan, pengorbanan utuh bukan yang setengah-setengah. Mungkin dianggap belum membuka mata, padahal itu kesalahan besar. Tidak dapat menutup mata dengan tenang, itulah kebenarannya. Gelisah, memutarkan badan, melirik benda kecil dan menyalakannya, melihat sekeliling, hingga kembali menutup mata. 
 
Harapan besar pada pengorbanan yang besar pula. Berpura-pura mati, tidak memiliki hati, dan bermasa bodoh dengan apa yang terjadi. Walau hati tak dapat berdusta, enggan berdosa, namun pikiran tak dapat di atur kehidupannya. Ya, kita bukan tuhan. Bukan kamu atau aku, tapi Dia. 
 
Aku rindu, rasa rindu yang kian membesar dan mendalam. Membuat ukiran tajam hingga tak akan pernah hilang seiring dengan berjalannya waktu walau itu dengan santai sekalipun, atau mungkin dengan jam pasir berisikan batu. Mungkin hati ini mati, hati ini buta. Di bunuh ego, dengan membutakannya hingga tak lagi dapat merasa.
Ukiran itu kian mendalam, hampir menembus ruang dibawahnya. Berat memilih antara ego dan hati. Ego dan hati, lagi-lagi ego dan hati. 
 
Kirim aku gunung untuk bersandar, kirim aku sungai untuk membasuh, kirim aku pantai untuk rehat sejenak, kirim aku awan untuk berbaring, kirim aku langit untuk tersenyum, kirim aku hujan untuk menangis, kirim aku matahari agar dapat merasakan sisi tersakit dari hidup ini. Tuhan adil, tak akan memberikan kebahagiaan menyeluruh. Ia tak akan memberikan yang terindah, namun Ia memberikan yang terbaik. Kiriman itu tak akan datang bersamaan, mempertimbangkan akhir yang tak ingin datang dengan cepat.
 
Jari terhenti sejenak, seolah lelah dan enggan untuk menari lagi. Pikiran berkecamuk dalam. Benda kecil itu, lagi-lagi benda kecil itu. Ingin sirna dari kepala, namun wujudnya terpampang di pandangan mata yang tak berdosa. Tangan terhipnotis untuk meraihnya, lantunan melodi itu mengejutkan. Tapi bukan senyum yang mengembang, justru sayatan yang menari diatasnya. Ingin menjatuhkan kristal itu, memikirkan sepasang mata lain yang siap menyaksikan. Dewasa, bukan untuk menghamburkan kristal berharga, bukan pula mengeluarkan raungan tegas nan pedih.
 
Embun kian menghilang, berganti hawa hangat. Langit kian cerah, menunjukkan warna sesungguhnya yang ia punya. Hanya pohon yang tetap setia menggoyangkan tubuhnya, mungkin ada lantunan melodi tersendiri disana yang tak dapat ditembus telinga. Hanya satu yang akan tetap setia dan tak akan terganti, aroma pegunungan. Walau memudar, namun ia tetap ada dan akan kembali bila masanya datang. 
 
Rumputan telah ternodai, tak hijau subur, terdapat bercak coklat diatas nya. Merusak pandangan. Hanya satu dua kepala yang disaksikan, semakin berkurang. Tawa tak lagi terdengar, jeritan anak kecil pun tak lagi menusuk telinga. 
 
Hentakan pintu membuyarkan lamunan, memutar pikiran. Mata membulat, telinga menajamkan pendengarannya. Laporan datang lagi, laporan itu lagi. Telinga panas, hati berkecamuk kembali. Kenapa harus? Menduga orang yang sama, ya memang mungkin orang yang sama. Ingin beraksi, tidak dengan keterbatasan yang ada. Yap, intermezzo.
 
Kini benar sunyi. Tak ada kepala yang bergerak berjalan, berpindah tempat. Langit kian hangat, mencerah. Rumput hijau menguning memantulkan cahaya di atasnya. Pohon pun tak lagi menggoyangkan tubuhnya, mungkin saja melodi nya telah usai melantun. Aku melihat kupu-kupu terbang tanpa beban. Ingin menjadi seperti nya, tapi tak dapat mengalahkan takdir. Seorang manusia, makhluk paling sempurna walau masih dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada, masih ingin mencoba menjadi mahkluk yang lain, yang mungkin dianggap lebih baik. Belajar bersyukur, kurangi keluhan, hentikan rintihan walau itu samar.
 
Burung, kini burung menjadi objek. Mungkin terlihat lebih lincah daripada kupu-kupu, jelas karena sayapnya yang lebih besar dan lebih lebar. Berfikir lah, dengan segala ketidaksempurnaannya itu ia pun punya keterbatasan lainnya yang tak terlihat. Senyumannya palsu, kelincahannya semu. Belajarlah darinya, meski beban berat dipikul pundak, namun tetap dengan santai dan lincah mengepakkan sayap nya, meliuk-liuk di langit biru, dan mengeluarkan suara merdu nya.
 
Aku ingin jadi burung yang terbang bebas, aku ingin jadi kupu-kupu yang selalu tampak indah, aku ingin menjadi anak kecil yang selalu berteriak riang. Sadar, tubuh telah tua. Manusia tua yang akan semakin menua seiring berjalannya waktu. Aku dapat memandang apa yang ada di kejauhan sana, terlihat dekat namun sangat jauh untuk di gapai bahkan di genggam. Seperti itu pula hidup yang akan selalu terlihat indah dan gampang namun memiliki derajat yang jauh membalikkannya. Burung tak selalu terbang tinggi, ada kalanya ia terbang satu meter dari permukaan tanah dan kembali meninggi. Ya, itu hidup. Ada kalanya menurun, dan pada saat itu berfikirlah untuk segera kembali ke atas meninggalkan keterpurukan di bawah.
 
Malam cepatlah berganti, cepatlah datang, hampiri aku. Tak kuasa mata menyaksikan indahnya cahaya Tuhan dengan keadaan hati ini. Mungkin kegelapan akan lebih baik menemaninya, akan terlihat senasib dengan nya.
 
Datang seorang anak menggiring bola, terlihat semangat dalam dirinya, senyumnya mengembang, bibirnya mengangkat, langkah nya ringan, mengelilingi lautan rerumputan yang terbentang. Di bawah hangatnya mentari pagi semangatnya tak pudar. Sesekali memainkan bola yang di giring dari luar lapangan. Masuk kelilingan kedua, masih dengan semangat yang sama, dengan senyuman yang sama, dengan bibir yang sama, dengan langkah yang sama pula. Tidak, semangatnya berubah, kini kian membara. Lelah mulai menghampirinya, tak merubah langkah pasti nya. Kini berdiri didepan gawang, tengkurap menyelongsorkan kaki, merenggangkan kaki, dan kembali berdiri. Membungkuk, berdiri, membungkuk, berdiri. Merenggangkan tangannya, memutar pinggang, dan berjalan mendekati gawang meraih bola yang terlontar kedalamnya. Bola nya menghilang, ia pun berjalan meninggalkan lapangan entah benar meninggalkannya atau sekedar menjemput bola yang mendahuluinya. Semangat nya memang tak luntur, kembali mendatangi lapangan dan memainkan bola. Terlihat peluhnya, tak menghalangi semangat untuk selalu memainkan bolanya. Hingga berulang kali ia meninggalkan lapangan dan mengejar bolanya.
 
Ku kira ia meninggalkan nya dalam waktu lama. Ia kembali mendatangi membawa bola. Kembali memainkannya. Yah, kurasa itu kesukaannya. Bahkan hingga langit memendung kembali, mentari terselimuti awan putih, ia tetap melakukan hal yang sama sejak awal.
 
Kini mulai lah belajar dari nya, tak hanya dari burung, kupu-kupu, pohon, dan lain yang patut di jadikan pembelajaran. Semangat tak pernah padam, walau penghalang silih berganti datang menghampiri. Semangatnya makin menggebu, biarkan ia dengan kesenanganya. Itu kebahagiaan baginya. Sepeda kecil terlintas dalam pandangan. Senyum mereka, tawa mereka, semangat mereka, hah. 
 
Bahagia dengan apa yang telah dimiliki, Tuhan tak akan member apa yang kita inginkan. Karena yang terbaik bagi kita belum tentu baik bagi Nya. Aku belajar hari ini, aku belajar dari pagi ini, aku belajar dari mata ini. Aku bahagia dengan apa yang ku punya, tetap menjadi diri yang lemah ini. Walau tak berdaya, namun masih dapat menghirup aroma yang tak kian berganti. Aroma pegunungan.

13 April 2014

Komentar