Ia Belum Takluk





            Resah menghampiri tiap ku lirik jam tangan yang kian bergerak dan berdetak tanpa henti. Menanti kapan bis ini akan berhenti pada tujuannya. Panik, cemas dan takut silih berganti menghampiri tiap tenang datang, tiap ku mampu meredam nya. Bagai kereta yang senantiasa berjalan di atas rel nya tanpa peduli apa yang terdapat di atasnya. 
 

            Jauh dari perkiraan, melompat keluar dan mendapati beberapa penyambung kaki. Masih dalam resah dan gelisah menanti waktu. Hingga tujuan ku raih, ku hempaskan tubuh dan menyeret beberapa benda yang perpegang pada pundak dan lengan. Hambatan demi hambatan terlewatkan dalam resah namun berujung. Bertolak menuju tempat yang baru, masih mengantongi beribu resah. Tempat ini baru, asing bagi diri ini. Tapi ku kuat, aku tangguh, aku tak akan pernah menyerah.

            Dari kejauhan aku berlari menghampiri seseorang yang telah menungguku sejak tadi. Mendatanginya, dan mengikuti adat rumahnya. Hingga langit berganti warna, menyalakan sepeda motor dan menjemput beberapa dari kami yang akan memulai perjalanan panjang ini. Tak henti mulut berucap kagum, sungguh indah ciptaanNya. Mata seolah tak berkedip memandang sekompleks bangunan batuan tua. Hingga senyumitu pun hadir ikhlas dari dalam gumpalan darah dalam tubuh.

            Memulai perjalanan panjang dari sebuah mobil barang tua yang membawa kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Menahan kaki yang cukup lelah, menanti perjalanan baru. Cerita demi cerita didapatkan dari perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Hingga kaki menapak di atas tanah akhir, dimana petualangan baru akan segera di taklukan dengan hati yang senantiasa mengingatNya.

            Malam itu memaksa beberapa insan untuk menghabiskan waktu di suatu tempat. Udara dingin menusuk sampai ke tulang. Ku raih baju hangat dan ku kenakan bersama sepasang sarung tangan. Menikmati dinginnya malam dengan suguhan hamparan Ranu Regulo. Hingga matahari mulai menampakkan dirinya, berpasang mata mengintip dari balik tenda. Sinar itu memaksa untuk beranjak dan menikmatinya langsung. Terlihat embun bagai asap keluar dari permukaan hamparan air. Lagi-lagi bibir ini berucap syukur nan kagum akan ciptaanNya.

            Petualangan di mulai. Ini lebih sulit bahkan dari yang pernah di bayangkan sekalipun. Beban yang tak ringan bertumpu pada pundak yang mungil. Sesekali membungkukkan badan menelusuri tiap halangan dan rintangan yang membentang, atau sekedar menghilangkan penat yang mampir. Hingga tiba di tempat yang tidak rendah, hamparan awan bak kapas terlihat anggun. Ya, itulah samudera di atas awan. Betapa tak henti mata ini terbelalak kagum seolah enggan untuk berkedip dan meninggalkan dari tiap detik keindahan yang terpancar. Butiran peluh seakan tak menjadi hambatan kaki ini untuk terus melaju, melangkah indah sambil menahan tatapan mata. 

            Lelah makin menggerogoti tubuh. Tiba di tempat yang tak kalah indahnya, tak kalah membelalakkan mata ini. Ranu Kumbolo, dengan hamparan air yang tidak sempit. Udara semakin menusuk tubuh. Kini kuraih baju hangat dari salah seorang temanku dan ku kenakan beserta sarung tangannya. Merubah diri bagai manusia dari suku eskimo. Hanya mampu melempar tubuh ke atas beberapa bentangan matras, menanti makanan yang siap mengisi perut yang hampir kosong ini. Dan kemudian melanjutkan perjalanan yang cukup berat. Dengan beban yang masih setia menggantung di pundak menaiki tanjakan yang tidak landai. Tanjakan Cinta dengan mitosnya yang melarang tiap pendaki untuk memandang atau hanya sekedar menoleh ke arah belakang. Rasa lelah ku tebas, seolah ada penantian di atas sana. Debu dan kotoran tak menyurutkan semangat jiwa ini, hingga dapat kuraih.

            Perjalanan makin berat, kaki makin lelah, pundak mulai menyurutkan kekuatannya. Hari makin gelap, suasana makin mencekam, dingin pun makin menusuk tulang. Sepintas teringat akan canda tawa seorang mama dalam pikiran, membiarkan butiran kristal jatuh dengan ikhlasnya dan memecahkan keheningan. Beberapa pasang tangan membantuku berdiri dan mengembalikan semangat yang kian surut, menghangatkan ku dari kedinginan yang kian menyiksa. Beban berkurang, tak lagi memikul beban yang besar. Namun tak akan menyerah mencapai tujuan akhir.

            Lokasi aman dapat di raih. Hanya dapat menghempaskan tubuh di atas tumpukan tas sembari menunggu tenda berdiri. Menggulung diri kedalam sebuah kantong tidur, dan sejenak melupakan kepenatan yang telah di dapatkan.

            Pukul 1 dini hari. Kini perjalanan terberat akan di tempuh. Ku rasakan tubuh ini memanas, namun tak layak biasanya. Dengan tekad melanjutkan perjalanan yang sangat teramat berat. Mata berkunang, kaki melemah, nafas menyesak. Makin menuju arah tempat dengan oksigen yang sangat tipis. Dapat kusaksikan indahnya bunga Edelweis bermekaran di kiri kanan lereng gunung. Namun itu tak berjalan lama, sontak kaki ini melumpuh, mata berkunang, dada menyesak. Beberapa oksigen tambahan menyeruak masuk ke hidung, terasa berbeda. Ingatan seakan menghilang, pandangan menggelap, kaki kian melumpuh. Membalikkan arah langkah dan tubuh. Tersadar tubuh ini berada di pundak tubuh seseorang. Hingga kembali ke lokasi aman, dan mengistirahatkan organ yang sangat lelah untuk dipaksa. 

            Ruam-ruam menggerogoti tubuh, lemah tak berdaya. Menyesal dengan sangat saat mata menyaksikan tujuan akhir itu dari kejauhan. Memutuskan untuk mengembalikan langkah ke habitat awal. Sambil mengembalikan kesadaran diri ini, namun tak cukup sanggup. Mata menyaksikan beberapa pasang tangan memberikan pertolongan dengan ikhlasnya. Haru, dada menyesak seolah ingin menyeruak keluar dan berteriak. Di pundak beberapa orang secara bergilir mengangkat tubuh ini. Entah berapa banyak oksigen buatan yang telah di hirup hidung ini. Hingga seseorang membangkitkan semangatku, mengingatkanku akan arti “Menwa”. Semangat kembali bangkit, dengan senyuman tipis melangkahkan kaki mungil untuk kembali. Namun tak bertahan lama, hambatan kian datang dan melumpuh totalkan tubuh ini. Hanya bisa melihat dari lipatan kecil mata, hanya dapat bernafas dari hidung yang kian menyumbat, namun tubuh tak kuat.

            Tiba di tempat yang cukup rendah, berusaha mengisi kekosongan perut yang kian menyakitkan, namun mulut menolak. Seakan enggan untuk memasukkan apapun kedalamnya. Hingga kembali ke tempat awal kita saling bertemu. Dalam diam menyesali tiap kejadian yang telah terjadi. Kenapa harus diri ini?

            Hingga malam itu tiba, tak sanggup menahan kesakitan ini. Memutuskan untuk membocorkannya. Di putuskan diri ini berpindah ke tempat baru dengan situasi dan keadaan baru. Dengan sentuhan hangat dan jagaan dari orang tersayang tubuh makin menghilangkan kelemahannya dan menghadirkan semangat yang tak kian padam. 1 minggu bukanlah waktu yang singkat, meninggalkan segala kewajiban dengan terpaksa. Orang tersayang membangkitkan semangat, menyembuhkan luka yang terkoyak menganga. Mengabaikan beberapa pesan singkat seolah tak ingin terganggu. Sedih terkadang hadir mengembalikan memori yang telah terjadi. Tanpa kepedulian orang terkasih. Ya, mungkin saatnya hidup mandiri tanpa bergantung.

            Dan kembali ke rutinitas. Berat menahan tiap bulir air mata senantiasa mengalir dan jatuh ke bumi. Meninggalkan orang yang telah mengembalikan semangat dan menguatkan diri ini untuk kembali hidup dan berkarya, orang yang seantiasa mendorong demi kemajuan serta memberi dukungan.

            Kembali memutar memori pahit itu, dalam diam berjanji pada diri ini. Ia memang belum takluk. Namun janji ini, suatu hari akan ku taklukkan engkau. Akan ku raih impian dari setiap orang yang berusaha meraihmu. Ikhlaskan diri ini. Bawa aku kembali pada mu, Mahameru.

TNBTS, 12-14 Agustus 2014

Komentar